Pertanggungjawaban Pidana dan Alasan Penghapus Pidana dalam Hukum Positif dan Hukum Islam



 Pertanggungjawaban Pidana dan Alasan Penghapus Pidana dalam Hukum Positif dan Hukum Islam

1. Pertanggungjawaban Pidana  

Pertanggungjawaban pidana adalah prinsip yang menentukan apakah seseorang dapat dikenakan hukuman atas perbuatannya. Agar seseorang dapat dipidana, harus dipenuhi unsur tindak pidana dan unsur kesalahan (dapat dipertanggungjawabkan secara hukum).  

a. Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Positif Indonesia

Menurut hukum pidana Indonesia, seseorang hanya bisa dipertanggungjawabkan jika memenuhi beberapa syarat, yaitu:  

1. Melakukan Perbuatan Pidana

   - Harus ada perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana.  

2. Mampu Bertanggung Jawab

   - Seseorang dianggap mampu bertanggung jawab jika memiliki kesadaran hukum dan dapat membedakan baik atau buruk.  

   - Jika seseorang mengalami gangguan jiwa atau berada dalam kondisi yang membuatnya tidak dapat berpikir normal, ia bisa dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana (Pasal 44 KUHP).  

3. Dilakukan dengan Kesalahan (Mens Rea)

   - Kesalahan bisa berupa kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa).  

4. Tidak Ada Alasan Pemaaf atau Pembenar

   - Jika ada alasan hukum yang membebaskan seseorang dari hukuman, maka ia tidak dapat dipidana.  

b. Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Islam  

Dalam hukum pidana Islam, seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya jika memenuhi syarat berikut:  

1. Mukallaf (Orang yang Memiliki Beban Hukum)

   - Harus berakal sehat dan sudah baligh.  

   - Anak-anak dan orang gila tidak bisa dipidana berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW:  

     > "Pena diangkat dari tiga golongan: orang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia baligh, dan orang gila hingga ia sembuh." (HR. Abu Daud)  

2. Adanya Kesengajaan (Qashd) atau Kelalaian (Khatha')

   - Kesalahan dalam hukum Islam bisa disengaja (jinayat qashd) atau tidak disengaja (jinayat khatha').  

   - Tindak pidana yang disengaja (seperti pembunuhan berencana) mendapat hukuman berat, sedangkan yang tidak disengaja bisa dikenai diyat (denda).  

3. Tidak Ada Udzur Syar’i (Alasan Pembebasan)

   - Jika ada alasan pembenar atau pemaaf yang sah dalam Islam, pelaku tidak bisa dihukum.  

2. Alasan Penghapus Pidana

Alasan penghapus pidana adalah kondisi yang membuat seseorang tidak bisa dipidana, meskipun secara formal telah melakukan tindak pidana. Dalam hukum pidana, alasan penghapus pidana dibagi menjadi alasan pembenar dan alasan pemaaf.  

a. Alasan Penghapus Pidana dalam Hukum Positif Indonesia  

1. Alasan Pembenar (Justification)  

   - Perbuatan yang dilakukan sebenarnya merupakan tindak pidana, tetapi karena ada kondisi tertentu, perbuatan itu dianggap sah atau dibenarkan oleh hukum.  

   - Contoh:

     - Pembelaan Terpaksa (Noodweer) (Pasal 49 ayat 1 KUHP)  

       - Seseorang yang membela diri dari serangan sehingga melukai atau membunuh penyerangnya.  

     - Melaksanakan Perintah Jabatan yang Sah (Pasal 51 KUHP)  

       - Seorang polisi yang menembak pelaku kejahatan dalam kondisi darurat.  

2. Alasan Pemaaf (Excuse)  

   - Perbuatan tetap melawan hukum, tetapi pelakunya tidak dapat dipidana karena kondisi tertentu.  

   - Contoh:  

     - Gangguan Jiwa atau Keterbelakangan Mental (Pasal 44 KUHP)  

       - Seseorang yang melakukan kejahatan dalam keadaan tidak sadar atau gila.  

     - Paksaan (Dwang) (Pasal 48 KUHP)  

       - Seseorang dipaksa melakukan kejahatan di bawah ancaman serius.  

b. Alasan Penghapus Pidana dalam Hukum Islam

Dalam hukum Islam, ada beberapa alasan yang dapat menghapus pidana, antara lain:  

1. Ikrah (Paksaan)  

   - Jika seseorang dipaksa melakukan suatu tindak pidana di bawah ancaman serius, maka ia tidak bisa dihukum.  

   - Dalil:

     > "Barang siapa yang kafir kepada Allah setelah beriman, kecuali orang yang dipaksa kafir, padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan, maka tidak ada dosa baginya..." (QS. An-Nahl: 106)  

2. Al-Khata’ (Kesalahan Tidak Sengaja)  

   - Perbuatan yang dilakukan tanpa sengaja tidak dikenai hukuman hudud, tetapi bisa dikenai diyat (denda).  

   - Contoh: Seseorang yang tidak sengaja membunuh orang lain harus membayar diyat kepada keluarga korban (QS. An-Nisa: 92).  

3. Sibyan (Anak-anak) dan Majnun (Orang Gila)  

   - Anak-anak dan orang dengan gangguan jiwa tidak bisa dipidana karena tidak memenuhi syarat mukallaf.  

4. Darurat (Dharurah)

   - Jika seseorang melakukan pelanggaran dalam keadaan darurat untuk mempertahankan hidup, hukuman dapat dihapus.  

   - Contoh: Makan makanan haram untuk bertahan hidup dalam kondisi kelaparan ekstrem (QS. Al-Baqarah: 173).  

5. Syubhat (Keraguan dalam Bukti) 

   - Dalam hukum Islam, jika ada keraguan dalam pembuktian, hukuman hudud bisa dibatalkan.  

   - Dalil:

     > "Hindarilah pelaksanaan hudud jika terdapat keraguan." (HR. Abu Dawud)  

Kesimpulan

Dalam **hukum positif Indonesia**, pertanggungjawaban pidana diberikan kepada seseorang yang memenuhi unsur kesalahan dan tidak memiliki alasan pembenar atau pemaaf. Sedangkan dalam hukum Islam, pertanggungjawaban pidana berlaku bagi mukallaf yang sadar akan perbuatannya dan tidak memiliki udzur syar’i.  

Alasan penghapus pidana dalam kedua sistem hukum ini memiliki kesamaan, seperti paksaan, gangguan jiwa, dan keadaan darurat. Namun, hukum Islam juga menambahkan konsep syubhat (keraguan dalam bukti) dan diyat (pengganti hukuman hudud untuk tindak pidana tertentu). 

Jika ada yang ingin didiskusikan lebih lanjut, silakan tanyakan.

39 Komentar

  1. Putri Ledhi Angelina
    10400124142
    IH D

    Pertanggungjawaban Pidana dan Alasan Penghapus Pidana dalam Hukum Positif dan Hukum Islam

    Pertanggungjawaban pidana melibatkan penilaian apakah seseorang dapat dihukum karena perbuatannya. Baik dalam hukum positif Indonesia maupun hukum Islam, ada syarat tertentu untuk mengklaim pertanggungjawaban pidana dan alasan yang dapat menghapusnya.

    Poin Utama
    1. Pertanggungjawaban Pidana:
    • Dalam hukum positif, syaratnya meliputi melakukan perbuatan pidana, mampu bertanggung jawab, kesalahan, dan tidak ada alasan pemaaf.
    • Dalam hukum Islam, syaratnya adalah mukallaf, adanya kesengajaan atau kelalaian, dan tidak ada udzur syar’i.

    2. Alasan Penghapus Pidana:
    • Dalam hukum positif ada alasan pembenar seperti pembelaan diri, dan alasan pemaaf seperti gangguan jiwa.
    • Dalam hukum Islam, alasan penghapus termasuk paksaan, kesalahan tidak sengaja, dan keadaan darurat.

    Kesimpulan
    Di kedua sistem hukum, faktor yang dapat menghapus pidana memiliki kesamaan, tetapi hukum Islam juga mencakup syubhat dan diyat.

    BalasHapus
  2. NAMA: FITRI.M
    NIM: 10400124128

    Pertanggungjawaban pidana dalam hukum positif Indonesia dan hukum Islam sama-sama menekankan pentingnya kesalahan pelaku dan kesadarannya atas perbuatan. Keduanya juga mengenal alasan penghapus pidana seperti paksaan, gangguan jiwa, dan keadaan darurat. Namun, hukum Islam memiliki tambahan konsep khusus seperti syubhat (keraguan dalam bukti) dan diyat (denda sebagai pengganti hukuman).

    BalasHapus
  3. Nurul Arifah
    10400124115

    Pertanggungjawaban pidana adalah dasar untuk menentukan apakah seseorang dapat dihukum atas perbuatannya. Dalam hukum positif Indonesia, seseorang dapat dipidana jika melakukan perbuatan pidana, mampu bertanggung jawab, melakukannya dengan kesalahan, dan tidak memiliki alasan pembenar atau pemaaf. Dalam hukum Islam, pertanggungjawaban berlaku bagi mukallaf (baligh dan berakal sehat), ada unsur kesengajaan atau kelalaian, serta tidak ada udzur syar’i.

    Alasan penghapus pidana adalah kondisi yang membebaskan pelaku dari hukuman. Dalam hukum positif, alasan ini dibagi menjadi pembenar (misalnya pembelaan terpaksa) dan pemaaf (misalnya gangguan jiwa atau paksaan). Dalam hukum Islam, alasan penghapus mencakup paksaan (ikrah), ketidaksengajaan, belum mukallaf, keadaan darurat, dan keraguan dalam bukti (syubhat).

    Secara umum, kedua sistem hukum mengakui pengecualian terhadap pertanggungjawaban pidana, namun hukum Islam lebih menekankan aspek moral dan keadilan dengan konsep syubhat dan diyat.

    BalasHapus
  4. Fiqri
    10400124097
    IH-C
    Meskipun terdapat perbedaan dalam sumber hukum dan beberapa detail konsep, terdapat kesamaan mendasar antara hukum positif dan hukum Islam dalam prinsip pertanggungjawaban pidana. Keduanya menekankan pentingnya kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab sebagai syarat utama untuk menjatuhkan hukuman pidana.
    Perbedaan signifikan mungkin terletak pada:
    * Sumber Hukum: Hukum positif bersumber dari peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga legislatif, sedangkan hukum Islam bersumber utama dari Al-Qur'an dan Sunnah.
    * Subjek Pertanggungjawaban: Hukum positif modern cenderung memperluas subjek pertanggungjawaban pidana hingga korporasi, sementara hukum Islam tradisional lebih menekankan pada pertanggungjawaban individu.
    * Konsep Kesalahan: Meskipun sama-sama mengakui unsur kesengajaan dan ketidaksengajaan, detail klasifikasi dan implikasi hukumnya bisa berbeda.
    * Alasan Pemaaf: Meskipun keduanya mengakui adanya alasan pemaaf, jenis dan ruang lingkupnya mungkin tidak sepenuhnya identik.
    Meskipun demikian, prinsip keadilan dan proporsionalitas dalam penjatuhan hukuman menjadi benang merah yang menghubungkan kedua sistem hukum ini dalam konteks pertanggungjawaban pidana. Keduanya berupaya untuk memastikan bahwa hukuman hanya dijatuhkan kepada mereka yang memang layak dan bertanggung jawab atas perbuatannya.

    BalasHapus
  5. Nama: Andi azizah ufairah syam
    Nim: 10400124138
    Kelas: IH-D


    Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Positif dan Hukum Islam

    Hukum Positif: Pertanggungjawaban pidana adalah kewajiban seseorang untuk menanggung akibat pidana karena telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana dan tidak ada alasan yang menghapuskan pidananya. Seseorang baru dapat dipidana jika ada kesalahan (baik sengaja maupun lalai), kecuali dalam beberapa kasus pidana khusus.

    Hukum Islam: Dalam hukum pidana Islam, pertanggungjawaban pidana terkait erat dengan konsep taklif (beban hukum) yang hanya berlaku bagi orang yang berakal dan baligh. Selain itu, kesalahan harus dibuktikan, dan adanya niat (niyyah) sangat menentukan dalam menetapkan pertanggungjawaban.

    Alasan Penghapus Pidana
    Hukum Positif: Terdapat dua jenis alasan penghapus pidana, yaitu:
    1. Alasan pembenar (misalnya pembelaan terpaksa, keadaan darurat) yang menghapus sifat melawan hukum.
    2. Alasan pemaaf (misalnya gangguan jiwa, daya paksa) yang menghapus kesalahan pelaku.

    Hukum Islam: Alasan penghapus pidana dalam Islam meliputi:
    1. Tidak adanya niat atau kesengajaan, seperti perbuatan yang dilakukan karena tidak tahu, lupa, atau terpaksa.
    2. Udzhur syar’i (alasan yang dibenarkan secara syar’i), seperti keterpaksaan dan ketidaksengajaan.
    3. Maaf dari korban, khusus untuk jinayat (tindak pidana terhadap jiwa/badan), dapat menggugurkan hukuman qishas atau diyat.

    Kesimpulan
    Baik dalam hukum positif maupun hukum Islam, pertanggungjawaban pidana hanya berlaku jika pelaku memenuhi syarat tertentu dan tidak terdapat alasan yang dapat menghapus pidananya. Keduanya juga mengakui pengecualian terhadap pidana berdasarkan kondisi mental, kesengajaan, serta situasi darurat atau terpaksa. Namun, hukum islam memiliki tambahan konsep khusus seperti syubhat dan diyat.

    BalasHapus
  6. Nur Atika Ramadhani H
    (10400124126)

    Pertanggungjawaban pidana merupakan prinsip hukum yang menentukan apakah seseorang dapat dikenakan hukuman atas perbuatannya, dengan syarat adanya unsur tindak pidana dan kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam hukum pidana Indonesia, syarat pertanggungjawaban meliputi perbuatan pidana yang memenuhi unsur hukum, kemampuan bertanggung jawab yang mencakup kesadaran hukum dan kemampuan membedakan baik buruk, adanya kesalahan berupa kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa), serta tidak adanya alasan pemaaf atau pembenar yang membebaskan dari hukuman. Misalnya, seseorang yang mengalami gangguan jiwa dapat dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana sesuai Pasal 44 KUHP.
    Sedangkan dalam hukum pidana Islam, pertanggungjawaban hanya berlaku bagi mukallaf, yaitu orang yang berakal sehat dan sudah baligh, dengan kesalahan yang bisa disengaja (qashd) atau tidak disengaja (khatha’). Alasan pembebasan juga diakui jika terdapat uzur syar’i seperti paksaan, gangguan jiwa, atau kondisi darurat.

    Alasan penghapus pidana adalah kondisi yang membuat seseorang tidak dapat dipidana meskipun telah melakukan tindak pidana. Dalam hukum positif Indonesia, alasan penghapus dibagi menjadi alasan pembenar, yang menganggap perbuatan sebagai sah karena kondisi tertentu (contoh: pembelaan terpaksa dan melaksanakan perintah jabatan yang sah), dan alasan pemaaf, yang mengakui perbuatan melawan hukum tetapi pelaku tidak dapat dihukum karena kondisi khusus seperti gangguan jiwa atau paksaan. Dalam hukum Islam, alasan penghapus pidana meliputi ikrah (paksaan), al-khata’ (kesalahan tidak sengaja yang dapat dikenai diyat), ketidaksiapan mukallaf seperti anak-anak dan orang gila, keadaan darurat (dharurah) yang membolehkan pelanggaran untuk mempertahankan hidup, serta syubhat (keraguan dalam bukti) yang dapat membatalkan hukuman hudud. Prinsip-prinsip ini menunjukkan kesamaan dalam kedua sistem hukum dalam mengatur pertanggungjawaban pidana dan alasan penghapus pidana dengan pendekatan yang sesuai nilai dan norma masing-masing sistem hukum.

    BalasHapus
  7. 1. Pertanggungjawaban Pidana
    a. Dalam Hukum Positif (Indonesia):
    Pertanggungjawaban pidana adalah kemampuan seseorang untuk dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan pidana yang dilakukan. Syaratnya:

    Ada perbuatan yang memenuhi unsur delik (actus reus),
    Ada kesalahan (mens rea),
    Pelaku dapat dipertanggungjawabkan secara hukum (tidak gila, dewasa, dll).
    b. Dalam Hukum Islam:
    Pertanggungjawaban pidana (taklif) didasarkan pada:

    Aqal (akal sehat),
    Baligh (cukup umur),
    Islam (untuk hudud dan qisas),
    Niat atau kesengajaan (terutama dalam jinayah).
    Pelaku hanya dapat dihukum jika memenuhi syarat mukallaf (orang yang dikenai beban hukum).
    2. Alasan Penghapus Pidana
    a. Dalam Hukum Positif:
    Alasan yang menghapus pidana dibagi dua:

    Alasan pembenar (perbuatan jadi tidak melawan hukum), seperti:
    Pembelaan terpaksa (Pasal 49 KUHP),
    Melaksanakan perintah jabatan (Pasal 51 KUHP).
    Alasan pemaaf (ada kesalahan tapi tidak dipidana), seperti:
    Tidak mampu bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP),
    Terpaksa,
    Kekhilafan, dsb.
    b. Dalam Hukum Islam:
    Penghapusan pidana dapat terjadi karena:

    Pemaafan oleh korban (dalam kasus qisas dan diyat),
    Ketiadaan unsur niat,
    Udzhur syar’i (alasan yang dibenarkan syariat seperti gila, tidur, dipaksa),
    Tobat, dalam beberapa kasus hudud

    BalasHapus
  8. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  9. Nama : Fathiyah ulya warta bone
    Kelas : Ilmu hukum D
    Nim : 10400124120

    Pertanggungjawaban Pidana dan Alasan Penghapus Pidana dalam Hukum Positif dan Hukum Islam

    1. Pertanggungjawaban Pidana
    Pertanggungjawaban Pidana adalah prinsip dalam hukum pidana yang menentukan apakah seseorang dapat dikenai hukuman atas perbuatan yang dilakukannya. Seseorang dapat dipidana, harus dipenuhi unsur tindak pidana dan unsur kesalahan (dapat dipertanggungjawabkan secara hukum).  

    a. Dalam Hukum Positif Indonesia
    Seseorang dapat dipidana jika memenuhi empat syarat:

    1. Melakukan perbuatan pidana
    - Perbuatan harus sesuai dengan unsur-unsur dalam delik pidana.

    2. Mampu bertanggung jawab
    - Pelaku harus dapat membedakan baik dan buruk (waras).
    - Gangguan jiwa atau kondisi tidak sadar dapat menggugurkan pertanggungjawaban (Pasal 44 KUHP).

    3. Adanya kesalahan (mens rea)
    - Kesalahan dapat berupa kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa).

    4. Tidak memiliki alasan pembenar atau pemaaf
    - Jika ada, seperti pembelaan diri, pelaku bisa bebas dari pidana.

    b. Dalam Hukum Pidana Islam
    Pertanggungjawaban hanya berlaku jika:

    1. Pelaku adalah mukallaf
    -Orang yang sudah baligh dan berakal sehat.
    - Anak-anak dan orang gila tidak dapat dihukum, berdasarkan hadis Nabi.

    2. Terdapat kesengajaan (qashd) atau kelalaian (khatha')
    - Pembunuhan disengaja dihukum berat, tidak sengaja dikenai diyat.

    3. Tidak ada Udzur Syar'i (alasan pembebasan)
    - Jika ada alasan sah menurut syariat, pelaku tidak dihukum.

    2. Alasan Penghapus Pidana
    Alasan penghapus pidana adalah kondisi atau situasi hukum yang menyebabkan seseorang yang secara formal telah melakukan tindak pidana tidak dapat dijatuhi hukuman pidana

    a. Dalam Hukum Positif Indonesia

    1. Alasan Pembenar (Justification)
    - Perbuatan tidak dianggap melawan hukum karena dibenarkan oleh keadaan. Contoh:
    ● Pembelaan terpaksa (Noodweer) Pasal 49 KUHP
    ● Perintah jabatan yang sah Pasal 51 KUHP.

    2. Alasan Pemaaf (Excuse)
    - Perbuatan tetap salah, tapi pelaku tidak dipidana karena kondisi tertentu. Contoh:
    ● Gangguan jiwa - Pasal 44 KUHP.
    ● Paksaan (dwang) - Pasal 48 KUHP.

    b. Dalam Hukum Islam

    1. Ikrah (paksaan)
    - Pelaku dipaksa dengan ancaman serius tidak dipidana. Dalilnya dalam QS. An-Nahl: 106

    2. Al-khata' (kesalahan tidak sengaja)
    - Tidak dikenai hudud, tetapi bisa dikenai diyat (denda). Dalilnya dalam QS. An-Nisa: 92

    3. Sibyan (anak-anak) dan Majnun (orang gila)
    - Tidak bisa dipidana karena tidak termasuk mukallaf.

    4. Dharurah (darurat)
    - Pelanggaran dalam kondisi
    darurat tidak dipidana. Dalilnya dalam QS. Al-Baqarah: 173

    5. Syubhat (keraguan dalam bukti)
    - Jika terdapat keraguan dalam pembuktian, hukuman hudud bisa dibatalkan. Dalilnya dalam HR. Abu Dawud

    Kesimpulan

    Dalam hukum positif Indonesia maupun hukum Islam, pertanggungjawaban pidana hanya dapat
    dijatuhkan kepada pelaku yang memenuhi syarat kesalahan, kesadaran, dan tidak
    memiliki alasan penghapus pidana. Keduanya mengakui pengecualian seperti paksaan, gangguan jiwa, dan keadaan
    darurat. Namun, hukum Islam memiliki
    kekhasan dengan memasukkan konsep
    syubhat (keraguan dalam bukti) dan diyat (pengganti hukuman pada tindak pidana tak disengaja), sebagai bentuk keadilan dan kehati-hatian dalam menghukum
    seseorang.

    BalasHapus
  10. Emeliah Fauziah
    (10400124125) IH D

    Pertanggungjawaban pidana adalah prinsip untuk menentukan apakah seseorang dapat dihukum atas suatu perbuatan. Dalam hukum positif Indonesia, seseorang dapat dipidana jika melakukan tindak pidana, memiliki kemampuan bertanggung jawab, melakukan kesalahan (baik sengaja maupun lalai), dan tidak memiliki alasan pembenar atau pemaaf. Sedangkan dalam hukum Islam, pertanggungjawaban hanya berlaku bagi orang yang berakal sehat dan baligh (mukallaf), dengan perbuatan yang disengaja atau lalai, serta tidak memiliki udzur syar’i.

    Alasan penghapus pidana dalam kedua sistem hukum meliputi alasan pembenar (seperti pembelaan diri) dan pemaaf (seperti gangguan jiwa atau paksaan). Hukum Islam memiliki tambahan alasan seperti syubhat (keraguan dalam bukti), dharurat (keadaan darurat), serta penggantian hukuman berupa diyat dalam kasus tidak sengaja.

    Kesimpulannya, meskipun memiliki pendekatan berbeda, baik hukum positif maupun hukum Islam menekankan pentingnya unsur kesalahan dan kondisi pelaku dalam penjatuhan pidana, serta memberikan ruang bagi pengecualian atas dasar kemanusiaan dan keadilan.

    BalasHapus
  11. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  12. RISKY ZAHWA PUTRI .I
    10400124091
    IH-C

    Pertanggungjawaban Pidana dan Alasan Penghapus Pidana
    (Dalam Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam)
    1. Pertanggungjawaban Pidana

    Pertanggungjawaban pidana adalah prinsip yang menentukan apakah seseorang dapat dikenai hukuman atas suatu perbuatan. Ada dua unsur utama yang harus dipenuhi: adanya perbuatan pidana dan kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan.

    a. Dalam Hukum Positif Indonesia

    Seseorang hanya dapat dipidana apabila memenuhi syarat berikut:
    - Melakukan Tindak Pidana
    Harus ada perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai undang-undang.

    - Mampu Bertanggung Jawab
    Pelaku harus dalam keadaan sadar hukum dan mampu membedakan baik-buruk.
    - Orang dengan gangguan jiwa dapat dibebaskan dari pertanggungjawaban (Pasal 44 KUHP).

    - Adanya Kesalahan (Mens Rea)
    Kesalahan bisa berupa kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa).

    - Tidak Ada Alasan Pembenar atau Pemaaf
    Jika ada alasan hukum yang membebaskan, pelaku tidak dapat dijatuhi pidana.

    b. Dalam Hukum Islam

    Dalam hukum Islam, pertanggungjawaban pidana mensyaratkan:
    - Mukallaf (Baligh dan Berakal)
    Hanya orang yang berakal sehat dan telah baligh yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

    Hadis Rasulullah SAW:
    > "Pena diangkat dari tiga: orang tidur hingga bangun, anak kecil hingga baligh, dan orang gila hingga sembuh." (HR. Abu Dawud)

    - Adanya Kesengajaan atau Kelalaian
    Kesalahan dibedakan antara perbuatan yang disengaja (jinayah qashd) dan tidak disengaja (jinayah khatha').

    - Tidak Ada Udzur Syar’i
    Jika ada alasan syar’i seperti paksaan atau keadaan darurat, pelaku tidak dikenai hukuman.

    2. Alasan Penghapus Pidana

    Alasan penghapus pidana adalah kondisi-kondisi yang menyebabkan seseorang tidak dapat dijatuhi hukuman meskipun perbuatannya memenuhi unsur tindak pidana.

    a. Dalam Hukum Positif Indonesia

    Terdapat dua jenis alasan penghapus pidana:

    - Alasan Pembenar (Justification)
    Membuat perbuatan yang melanggar hukum menjadi sah.
    - Pembelaan Terpaksa (Noodweer) (Pasal 49 KUHP): membela diri dari serangan.
    - Melaksanakan Perintah Jabatan yang Sah (Pasal 51 KUHP).

    - Alasan Pemaaf (Excuse)
    Membuat pelaku tidak dapat dipidana karena kondisi pribadi.
    - Gangguan Jiwa atau Keterbelakangan Mental (Pasal 44 KUHP).
    - Paksaan (Dwang) (Pasal 48 KUHP): melakukan perbuatan di bawah ancaman serius.
    b. Dalam Hukum Islam

    Beberapa alasan penghapus pidana menurut hukum Islam:

    - **Ikrah (Paksaan)**
    Pelaku yang dipaksa tidak dikenai hukuman.
    Dalil:
    > "Barang siapa yang dipaksa kafir, padahal hatinya tetap tenang dalam iman, maka tidak ada dosa baginya." (QS. An-Nahl: 106)

    - Al-Khata’ (Kesalahan Tidak Sengaja)
    Kesalahan tidak disengaja dikenai diyat (denda), bukan hudud.
    (QS. An-Nisa: 92)

    - Sibyan (Anak-anak) dan Majnun (Orang Gila)
    Tidak dipidana karena tidak memenuhi syarat mukallaf.

    - Darurat (Dharurah)
    Pelanggaran syariat dalam kondisi darurat diperbolehkan.
    (QS. Al-Baqarah: 173)

    - Syubhat (Keraguan Bukti)
    Jika ada keraguan dalam bukti, hukuman hudud harus dibatalkan.
    Hadis:
    > "Hindarilah pelaksanaan hudud jika ada syubhat." (HR. Abu Dawud)

    Kesimpulan
    Dalam hukum positif Indonesia pertanggungjawaban pidana diberikan kepada individu yang mampu bertanggung jawab, berbuat salah, dan tidak memiliki alasan penghapus pidana.

    Dalam hukum Islam pertanggungjawaban hanya diberikan kepada mukallaf (baligh dan berakal) yang melakukan perbuatan dengan sadar dan tidak memiliki udzur syar’i.

    Keduanya mengakui konsep pemaafan seperti paksaan, gangguan jiwa, dan darurat. Namun, hukum Islam menambahkan prinsip syubhat (keraguan dalam pembuktian) dan sistem diyat (penggantian hukuman dalam kesalahan tidak disengaja).

    BalasHapus
  13. Rizky Adi Putra (10400124084)
    ILMU HUKUM C

    seperti yang telah kita baca dari artikel diatas, kita dapat mengetahui bahwa artikel tersebut membahas tentang dua konsep penting dalam hukum pidana Indonesia, yaitu pertanggungjawaban pidana dan alasan penghapus pidana

    pembahasan pertama :
    1. Pertanggungjawaban Pidana
    - Merupakan dasar untuk menilai apakah seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban atas suatu tindak pidana.
    - Mensyaratkan dua unsur utama: perbuatan melawan hukum dan kesalahan (schuld)
    - Jika salah satu unsur tidak terpenuhi, maka pelaku tidak dapat dijatuhi pidana.

    2. Alasan Penghapus Pidana
    - Dapat menghapuskan pidana meskipun unsur tindak pidana terpenuhi.
    - Terbagi menjadi dua jenis:
    - Alasan Pembenar: Membenarkan perbuatan, sehingga tidak dianggap melanggar hukum (misalnya pembelaan terpaksa/Pasal 49 KUHP).
    - Alasan Pemaaf: Memaafkan pelaku karena tidak dapat dipertanggungjawabkan (misalnya gangguan jiwa/Pasal 44 KUHP).

    Kesimpulannya
    Tidak semua perbuatan pidana dapat dijatuhi hukuman. Pemahaman terhadap pertanggungjawaban pidana dan alasan penghapus pidana penting agar penegakan hukum berjalan adil dan proporsional

    BalasHapus
  14. Nama: Arman
    Kelas: IH-(D)
    Nim : 10400124145

    Resume:
    Pertanggungjawaban Pidana dan Alasan Penghapus Pidana

    1. Pertanggung jawaban Pidana
    Definisi: Pertanggungjawaban pidana adalah prinsip yang menentukan apakah seseorang dapat dikenakan hukuman atas perbuatannya, yang melibatkan unsur tindak pidana dan kesalahan.
    a. Hukum Positif Indonesia:
    Melakukan Perbuatan Pidana: Harus ada tindakan yang memenuhi unsur tindak pidana.
    Mampu Bertanggung Jawab: Seseorang harus memiliki kesadaran hukum; gangguan jiwa dapat membebaskan dari tanggung jawab (Pasal 44 KUHP).
    Kesalahan (Mens Rea): Kesalahan dapat berupa kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa).
    Tidak Ada Alasan Pemaaf atau Pembenar: Jika ada alasan hukum yang membebaskan, individu tidak dapat dipidana.

    b. Hukum Islam:
    Mukallaf: Harus berakal sehat dan baligh; anak-anak dan orang gila tidak dapat dipidana.
    Kesengajaan (Qashd) atau Kelalaian (Khatha'): Tindak pidana disengaja dikenakan hukuman berat, sedangkan yang tidak disengaja dapat dikenakan diyat.
    -Tidak Ada Udzur Syar’i: Alasan pembenar yang sah menghapus hukuman.

    2. Alasan Penghapus Pidana
    Definisi: Alasan penghapus pidana adalah kondisi yang membuat seseorang tidak dapat dipidana meskipun telah melakukan tindak pidana.

    a. Hukum Positif Indonesia:
    Alasan Pembenar: Tindakan dianggap sah karena kondisi tertentu.
    - Contoh: Pembelaan Terpaksa (Noodweer) dan Melaksanakan Perintah Jabatan yang Sah.

    Alasan Pemaaf : Tindakan melawan hukum, tetapi pelaku tidak dapat dipidana karena kondisi tertentu.
    - Contoh: Gangguan Jiwa dan Paksaan (Dwang).

    b. Hukum Islam:
    Ikrah (Paksaan) Dipaksa melakukan tindak pidana di bawah ancaman serius tidak dapat dihukum.
    Al-Khata’ (Kesalahan Tidak Sengaja). Tindakan tanpa sengaja tidak dikenai hukuman hudud, tetapi dikenakan diyat.
    Sibyan dan Majnun Anak-anak dan orang dengan gangguan jiwa tidak dapat dipidana.
    Darurat (Dharurah). Pelanggaran dalam keadaan darurat untuk mempertahankan hidup dapat menghapus hukuman.
    Syubhat (Keraguan dalam Bukti). Keraguan dalam pembuktian dapat membatalkan hukuman hudud.

    Kesimpulan mencakup dari semua inti pembahas

    Pertanggungjawaban pidana dalam hukum positif dan hukum Islam memiliki kesamaan dalam syarat-syarat yang harus dipenuhi. Alasan penghapus pidana juga menunjukkan kesamaan, seperti paksaan dan gangguan jiwa, tetapi hukum Islam menambahkan konsep syubhat dan diyat.

    BalasHapus

  15. Pertanggungjawaban Pidana dan Alasan Penghapus Pidana dalam Hukum Positif dan Hukum Islam.
    Dalam hukum positif, seseorang dapat dipidana jika memenuhi unsur perbuatan pidana, mampu bertanggung jawab (tidak mengalami gangguan jiwa atau kondisi yang menghilangkan kesadaran hukum), melakukan perbuatan dengan kesalahan (baik kesengajaan maupun kelalaian), dan tidak memiliki alasan pembenar atau pemaaf.
    Sementara dalam hukum Islam, seseorang dapat dipidana jika ia mukallaf (sudah baligh dan berakal), melakukan perbuatan dengan sengaja (qashd) atau tidak sengaja (khatha’), serta tidak memiliki udzur syar’i yang sah. Alasan penghapus pidana dalam hukum positif terbagi dua, yaitu alasan pembenar (seperti pembelaan terpaksa dan perintah jabatan sah) dan alasan pemaaf (seperti gangguan jiwa dan paksaan).
    Dalam hukum Islam, alasan penghapus pidana meliputi paksaan (ikrah), kesalahan tidak disengaja (khatha’), belum mukallaf (anak-anak, orang gila), keadaan darurat (dharurah), dan keraguan bukti (syubhat). Keduanya memiliki prinsip dasar yang serupa, tetapi hukum Islam menambahkan pendekatan berbasis syariat, seperti penghapusan hukuman karena syubhat dan penggantian hukuman dengan diyat.

    BalasHapus
  16. Nama: Azizah muliadin
    Nim: 10400124139
    Kelas: IH- D

    Menurut saya, pertanggungjawaban pidana baik dalam hukum positif maupun hukum Islam memiliki kesamaan dalam hal prinsip dasar, yaitu bahwa seseorang hanya dapat dipidana jika ia melakukan perbuatan yang dilarang dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Namun, pendekatannya memiliki perbedaan karakteristik.

    Dalam hukum positif, pertanggungjawaban pidana didasarkan pada adanya perbuatan melawan hukum, unsur kesalahan (sengaja atau lalai), dan kemampuan bertanggung jawab secara hukum. Seseorang tidak bisa dihukum jika tidak ada unsur kesalahan, atau jika ia dalam kondisi yang membuatnya tidak mampu bertanggung jawab (seperti gila atau di bawah umur).

    Sedangkan dalam hukum Islam, pertanggungjawaban pidana sangat erat kaitannya dengan aspek moral, niat (niyyah), dan kemampuan taklif. Hanya orang yang berakal sehat, dewasa, dan tidak dalam kondisi terpaksa yang bisa dimintai pertanggungjawaban. Ini menunjukkan bahwa hukum Islam sangat menekankan unsur keadilan dan belas kasih dalam penerapan hukuman.

    Terkait alasan penghapus pidana, kedua sistem hukum ini memberikan pengecualian atas hukuman apabila terdapat alasan yang dibenarkan. Dalam hukum positif, dikenal alasan seperti pembelaan darurat (noodweer), keadaan terpaksa (overmacht), dan tidak mampu bertanggung jawab. Sementara dalam hukum Islam, terdapat konsep seperti ikrah (paksaan), syubhat (keraguan), dan darurat, yang menunjukkan bahwa hukuman dapat dihapus bila pelaku berada dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk bertindak secara bebas atau sadar.

    Dari sudut pandang pribadi, saya menilai bahwa kedua sistem hukum ini memiliki keunggulan masing-masing. Hukum positif cenderung lebih sistematis dan tegas dalam aturan, sedangkan hukum Islam lebih mengutamakan keadilan substantif dan nilai moral. Keduanya dapat saling melengkapi dalam menciptakan sistem hukum pidana yang adil dan manusiawi.

    BalasHapus
  17. Nama: Naqiyyah Az zahra R
    NIM:10400124131
    Kelas IH-D

    Menurut saya, pertanggungjawaban pidana dan alasan penghapus pidana dalam perspektif hukum positif Indonesia dan hukum pidana Islam. Pertanggungjawaban pidana pada dasarnya adalah prinsip hukum yang menentukan apakah seseorang dapat dikenai sanksi pidana atas suatu perbuatan yang dilakukannya. Dalam kedua sistem hukum ini, pertanggungjawaban pidana tidak serta-merta diberlakukan, melainkan harus memenuhi sejumlah syarat, baik terkait unsur perbuatan maupun kondisi pelaku.

    Dalam hukum positif Indonesia, seseorang baru bisa dimintai pertanggungjawaban pidana jika terbukti melakukan suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana, mampu bertanggung jawab secara hukum (yakni memiliki kesadaran untuk membedakan baik dan buruk), bertindak dengan kesalahan yang berupa kesengajaan atau kelalaian (mens rea), serta tidak memiliki alasan pembenar atau pemaaf yang dapat menghapuskan pidananya. Misalnya, seseorang yang membela diri dalam situasi darurat atau melaksanakan perintah jabatan yang sah, dapat dibebaskan dari pidana karena adanya alasan pembenar. Sementara itu, kondisi seperti gangguan jiwa atau paksaan dapat menjadi alasan pemaaf yang membebaskan pelaku dari tanggung jawab hukum meskipun perbuatannya tetap melawan hukum.

    Sementara itu, dalam hukum Islam, pertanggungjawaban pidana juga diberlakukan hanya kepada individu yang memenuhi syarat mukallaf, yaitu mereka yang telah baligh dan berakal sehat. Anak-anak, orang yang tidur, serta mereka yang mengalami gangguan jiwa tidak dapat dikenai hukuman. Prinsip kesengajaan dan kelalaian juga diakui dalam hukum Islam dengan konsekuensi yang berbeda tergantung pada tingkat kesalahan. Tindak pidana yang dilakukan secara sengaja, terutama dalam kasus pembunuhan, dikenakan hukuman berat. Sedangkan jika tidak disengaja, pelaku dapat dikenai diyat (denda), bukan hukuman hudud. Hukum Islam menekankan keadilan dengan memberikan pengecualian bagi mereka yang memiliki udzur syar’i, seperti paksaan, kesalahan tidak disengaja, keadaan darurat, atau adanya keraguan dalam bukti (syubhat).

    Alasan penghapus pidana dalam kedua sistem hukum menunjukkan banyak kesamaan, seperti pengakuan terhadap kondisi paksaan, gangguan jiwa, dan keadaan darurat. Namun, hukum Islam memiliki karakteristik tambahan, seperti prinsip syubhat yang dapat membatalkan hukuman hudud demi mencegah kekeliruan dalam pelaksanaan hukum, dan konsep diyat sebagai bentuk ganti rugi dalam tindak pidana yang tidak disengaja. Keseluruhan materi ini menampilkan pemahaman yang holistik terhadap bagaimana hukum pidana diberlakukan dengan memperhatikan unsur keadilan, niat pelaku, serta kondisi-kondisi yang dapat mempengaruhi pertanggungjawaban pidana, baik dalam konteks hukum nasional maupun syariat Islam.

    BalasHapus
  18. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  19. MUH.IHRAM YUSA
    ILMU HUKUM C
    10400124104
    Resume Pertanggungjawaban Pidana dan Alasan Penghapus Pidana
    1. Pertanggungjawaban Pidana
    Hukum Positif Indonesia
    Seseorang dapat dipidana jika memenuhi unsur tindak pidana, memiliki kesadaran hukum (mampu bertanggung jawab), melakukan perbuatan dengan kesalahan (dolus atau culpa), dan tidak memiliki alasan pembenar atau pemaaf. Gangguan jiwa dan kondisi tidak sadar dapat membebaskan dari pertanggungjawaban pidana.

    Hukum Islam
    Pertanggungjawaban berlaku bagi mukallaf (baligh dan berakal sehat) yang melakukan perbuatan dengan kesengajaan (qashd) atau kelalaian (khatha’). Anak-anak dan orang gila tidak dipidana. Jika ada udzur syar’i (alasan pembebasan), pelaku tidak dihukum.

    2. Alasan Penghapus Pidana
    Hukum Positif Indonesia

    Alasan Pembenar: Perbuatan yang sebenarnya pidana tetapi dibenarkan oleh hukum, seperti pembelaan terpaksa dan perintah jabatan.

    Alasan Pemaaf: Perbuatan tetap salah, tapi pelaku tidak dipidana karena kondisi seperti gangguan jiwa dan paksaan.

    Hukum Islam
    Alasan penghapus pidana meliputi ikrah (paksaan), al-khata’ (kesalahan tidak sengaja yang dikenai diyat), sibyan dan majnun (anak-anak dan orang gila), keadaan darurat (dharurah), dan syubhat (keraguan dalam bukti yang membatalkan hukuman hudud).

    Kesimpulan
    Kedua sistem hukum mengatur pertanggungjawaban pidana dan alasan penghapus pidana dengan prinsip dasar yang serupa, yaitu mempertimbangkan unsur kesalahan dan kondisi pembebasan. Namun, hukum Islam menambahkan konsep diyat dan syubhat yang khas, sementara hukum positif Indonesia menekankan asas legalitas dan mens rea.

    BalasHapus
  20. nama:nurul insani palman putri
    nim :10400124123
    kelas:ilmu hukum d

    Pertanggungjawaban pidana adalah prinsip yang menentukan apakah seseorang dapat dikenakan hukuman atas perbuatannya. Agar seseorang dapat dipidana, harus dipenuhi unsur tindak pidana dan unsur kesalahan (dapat dipertanggungjawabkan secara hukum).

    a. Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Positif Indonesia

    Menurut hukum pidana Indonesia, seseorang hanya bisa dipertanggungjawabkan jika memenuhi beberapa syarat, yaitu:

    1. Melakukan Perbuatan Pidana.
    2. ⁠Mampu Bertanggung Jawab.
    3. ⁠Dilakukan dengan Kesalahan (Mens Rea).
    4. ⁠Tidak Ada Alasan Pemaaf atau Pembenar.

    b. Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Islam

    Dalam hukum pidana Islam, seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya jika memenuhi syarat berikut:

    1. Mukallaf (Orang yang Memiliki Beban Hukum).
    2. ⁠Adanya Kesengajaan (Qashd) atau Kelalaian (Khatha').
    3. ⁠Tidak Ada Udzur Syar’i (Alasan Pembebasan).

    Kesimpulan:

    Dalam hukum positif Indonesia pertanggungjawaban pidana diberikan kepada seseorang yang memenuhi unsur kesalahan dan tidak memiliki alasan pembenar atau pemaaf. Sedangkan dalam hukum Islam, pertanggungjawaban pidana berlaku bagi mukallaf yang sadar akan perbuatannya dan tidak memiliki udzur syar’i.

    BalasHapus
  21. Nama : Charissi Luhri Rasyid
    NIM: 10400124122
    KELAS: IH-D

    Pertanggungjawaban Pidana dan Alasan Penghapus Pidana dalam Hukum Positif dan Hukum Islam

    1. Pertanggungjawaban Pidana
    Pertanggungjawaban pidana adalah prinsip yang menentukan apakah seseorang dapat dikenakan hukuman atas perbuatannya, yang meliputi unsur tindak pidana dan kesalahan.

    a. Hukum Positif Indonesia:
    Perbuatan Pidana: Harus ada tindakan yang memenuhi unsur tindak pidana.
    Mampu Bertanggung Jawab: Seseorang harus memiliki kesadaran hukum; gangguan jiwa dapat membebaskan dari tanggung jawab (Pasal 44 KUHP).
    Kesalahan (Mens Rea): Kesalahan bisa berupa kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa).
    Tidak Ada Alasan Pemaaf atau Pembenar: Jika ada alasan hukum yang membebaskan, maka tidak dapat dipidana.

    b. Hukum Islam:
    Mukallaf: Harus berakal sehat dan baligh; anak-anak dan orang gila tidak dapat dipidana.
    Kesengajaan (Qashd) atau Kelalaian (Khatha'): Tindak pidana disengaja mendapat hukuman berat, sedangkan yang tidak disengaja dikenai diyat.
    Tidak Ada Udzur Syar’i: Alasan pembenar atau pemaaf yang sah dapat membebaskan dari hukuman.

    2. Alasan Penghapus Pidana
    Alasan penghapus pidana adalah kondisi yang membuat seseorang tidak dapat dipidana meskipun telah melakukan tindak pidana.

    a. Hukum Positif Indonesia:
    Alasan Pembenar: Perbuatan dianggap sah karena kondisi tertentu, seperti pembelaan terpaksa (Pasal 49 KUHP) dan melaksanakan perintah jabatan (Pasal 51 KUHP).
    Alasan Pemaaf: Perbuatan melawan hukum tetapi pelaku tidak dapat dipidana karena kondisi tertentu, seperti gangguan jiwa (Pasal 44 KUHP) dan paksaan (Pasal 48 KUHP).

    b. Hukum Islam:
    Ikrah (Paksaan): Jika dipaksa melakukan tindak pidana, tidak dapat dihukum.
    Al-Khata’ (Kesalahan Tidak Sengaja): Tindakan tanpa sengaja tidak dikenai hukuman hudud, tetapi dikenai diyat.
    Sibyan dan Majnun: Anak-anak dan orang gila tidak dapat dipidana.
    Darurat: Pelanggaran dalam keadaan darurat untuk mempertahankan hidup dapat menghapus hukuman.
    Syubhat (Keraguan dalam Bukti): Keraguan dalam pembuktian dapat membatalkan hukuman hudud.

    Materi ini menjelaskan prinsip-prinsip dasar pertanggungjawaban pidana dan alasan penghapus pidana dalam konteks hukum positif Indonesia dan hukum Islam, menyoroti perbedaan dan kesamaan dalam kedua sistem hukum tersebut.

    BalasHapus
  22. Nama : Muhammad Akasyah Gustisyaf
    Nim : 10400124149 (IH-D)
    Pertanggungjawaban Pidana dan Alasan Penghapus Pidana dalam Hukum Positif dan Hukum Islam.
    Dalam hukum positif, seseorang dapat dipidana jika ia melakukan perbuatan pidana, mampu bertanggung jawab (berakal sehat), memiliki kesalahan (sengaja atau lalai), serta tidak memiliki alasan pembenar atau pemaaf.
    Hukum Islam mewajibkan pelaku adalah mukallaf (baligh dan berakal), melakukan kesalahan baik sengaja (qashd) maupun tidak sengaja (khatha’), serta tidak memiliki udzur syar’i. Alasan penghapus pidana dalam hukum positif mencakup alasan pembenar seperti pembelaan terpaksa dan perintah jabatan, serta alasan pemaaf seperti gangguan jiwa dan paksaan. Dalam hukum Islam, alasan penghapus pidana mencakup paksaan (ikrah), kesalahan tidak sengaja, belum mukallaf, keadaan darurat (dharurah), dan keraguan dalam bukti (syubhat).
    Kedua sistem hukum memiliki prinsip yang serupa, namun hukum Islam memberikan penekanan tambahan pada aspek moral dan keraguan bukti sebagai dasar penghapusan pidana.

    BalasHapus
  23. Pertanggungjawaban pidana menentukan apakah seseorang dapat dikenai hukuman atas tindak pidana yang dilakukan. Dalam hukum positif Indonesia, seseorang hanya dapat dipidana jika memenuhi unsur perbuatan pidana, mampu bertanggung jawab, terdapat kesalahan (baik sengaja maupun lalai), dan tidak memiliki alasan pembenar atau pemaaf. Hukum Islam juga mensyaratkan hal serupa, namun fokus pada status mukallaf, yaitu seseorang yang telah baligh dan berakal sehat, serta tidak memiliki udzur syar’i seperti paksaan atau gangguan jiwa.

    Alasan penghapus pidana dalam hukum Indonesia dibedakan menjadi alasan pembenar (seperti pembelaan terpaksa) dan alasan pemaaf (seperti paksaan atau gangguan jiwa). Dalam hukum Islam, alasan penghapus pidana mencakup paksaan, tindakan tidak disengaja, ketidakmampuan hukum (anak-anak dan orang gila), keadaan darurat, serta syubhat atau keraguan dalam bukti. Islam juga mengenal diyat sebagai bentuk pengganti hukuman pada tindak pidana tertentu seperti pembunuhan tidak sengaja.

    Meskipun terdapat perbedaan pendekatan, kedua sistem hukum menekankan pentingnya unsur kesalahan dan memberikan ruang pembebasan hukuman jika terdapat kondisi tertentu

    BalasHapus
  24. Nama : Rayhan Zhaudy Jaalal
    Nim : 10400124103
    Dalam hukum pidana, pertanggungjawaban pidana dan alasan penghapusan pidana adalah dua konsep penting yang menentukan apakah seseorang dapat dihukum atau tidak atas suatu perbuatan yang melanggar hukum.

    1. Pertanggungjawaban Pidana

    Pertanggungjawaban pidana adalah proses untuk menentukan apakah seseorang dapat dikenai hukuman pidana atas perbuatan yang dilakukannya. Ada beberapa syarat umum agar seseorang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, yaitu:

    Perbuatan tersebut memenuhi unsur tindak pidana (perbuatan melawan hukum).

    Pelaku memiliki kemampuan bertanggung jawab (cakap secara hukum, tidak gila, tidak di bawah umur tertentu).

    Ada kesalahan (dolus atau culpa):

    Dolus (kesengajaan): pelaku tahu dan menghendaki akibat dari perbuatannya.

    Culpa (kelalaian): pelaku tidak berniat, tapi karena lalai, akibat tetap terjadi.


    Tidak ada alasan penghapus pidana.


    2. Alasan Penghapusan Pidana

    Ini adalah alasan hukum yang membuat pelaku tidak dapat dijatuhi pidana meskipun perbuatannya termasuk tindak pidana. Alasan ini dibagi menjadi dua:

    a. Alasan Pembenar

    Menghapus sifat melawan hukum dari perbuatan. Artinya, perbuatannya tetap dilakukan tapi dianggap benar menurut hukum. Contoh:

    Pembelaan terpaksa (noodweer): membela diri dari serangan yang melawan hukum.

    Keadaan darurat (overmacht): dipaksa oleh keadaan untuk melakukan perbuatan tersebut.

    Perintah jabatan yang sah: menjalankan perintah atasan yang sah menurut hukum.


    b. Alasan Pemaaf

    Perbuatannya tetap salah, tapi pelaku dimaafkan karena kondisi pribadi atau kejiwaannya. Contoh:

    Noodweer exces: pembelaan diri yang berlebihan karena emosi yang sangat mendalam akibat serangan.

    Daya paksa psikis (psychische overmacht): tekanan batin yang sangat berat.

    Tidak mampu bertanggung jawab: karena gangguan jiwa atau masih di bawah umur.

    Kesalahan karena tidak tahu (dwaling): pelaku tidak tahu bahwa perbuatannya dilarang dan ketidaktahuannya dapat dibenarkan.

    BalasHapus
  25. Nama: Syarif Tukwain (IH-D)
    NIM: 10400124127

    Resume:
    Pertanggungjawaban Pidana dan Alasan Penghapus Pidana dalam Hukum Positif dan Hukum Islam

    1. Pertanggungjawaban Pidana
    Pertanggungjawaban pidana merupakan konsep yang menentukan apakah seseorang dapat dihukum atas perbuatannya, dengan syarat adanya tindak pidana dan unsur kesalahan.

    A. Dalam Hukum Positif Indonesia
    Syarat pertanggungjawaban pidana meliputi:
    - Dilakukannya perbuatan pidana yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana
    - Kemampuan bertanggung jawab (memiliki kesadaran hukum dan tidak dalam gangguan jiwa menurut Pasal 44 KUHP)
    - Adanya unsur kesalahan baik berupa kesengajaan (dolus) maupun kelalaian (culpa)
    - Tidak terdapat alasan pemaaf atau pembenar yang berlaku

    B. Dalam Hukum Islam
    Syarat pertanggungjawaban pidana mencakup:
    - Status mukallaf (telah baligh dan berakal sehat)
    - Adanya unsur kesengajaan (qashd) atau kelalaian (khatha')
    - Tidak adanya udzur syar'i yang dapat membebaskan dari hukuman

    2. Alasan Penghapus Pidana
    Alasan penghapus pidana merupakan kondisi-kondisi tertentu yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana meskipun perbuatan pidana secara formal telah terjadi.

    A. Dalam Hukum Positif Indonesia
    1) Alasan pembenar meliputi:
    - Pembelaan terpaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat 1 KUHP
    - Pelaksanaan perintah jabatan yang sah berdasarkan Pasal 51 KUHP

    2) Alasan pemaaf mencakup:
    - Gangguan jiwa sebagaimana diatur dalam Pasal 44 KUHP
    - Tindakan yang dilakukan di bawah paksaan menurut Pasal 48 KUHP

    B. Dalam Hukum Islam
    Alasan penghapus pidana meliputi:
    - Ikrah (paksaan) berdasarkan QS. An-Nahl: 106
    - Khata' (ketidaksengajaan) menurut QS. An-Nisa: 92
    - Kondisi darurat berdasarkan QS. Al-Baqarah: 173
    - Status anak-anak atau orang dengan gangguan jiwa
    - Adanya keraguan dalam bukti menurut Hadis Abu Dawud

    3. Perbandingan Antara Kedua Sistem Hukum
    Hukum positif Indonesia lebih berfokus pada aspek formal yuridis yang diatur dalam KUHP, sementara hukum Islam menitikberatkan pada pertimbangan syar'i yang mencakup:
    - Niat pelaku
    - Kondisi psikologis pelaku
    - Keadaan darurat yang melatarbelakangi perbuatan

    Kedua sistem hukum ini memiliki kesamaan dalam mengakui beberapa alasan pemaaf seperti:
    - Adanya unsur paksaan
    - Ketidaksengajaan dalam melakukan perbuatan
    - Kondisi mental pelaku yang tidak memenuhi syarat pertanggungjawaban.

    BalasHapus
  26. Nama:Salwa
    Nim:10400124147
    Kelas:IH-D

    Pertanggungjawaban pidana dalam hukum positif Indonesia dan hukum Islam sama-sama menekankan bahwa seseorang hanya dapat dipidana jika memiliki kesalahan dan kesadaran atas perbuatannya. Dalam hukum positif, syaratnya meliputi adanya perbuatan pidana, unsur kesalahan (sengaja atau lalai), dan kemampuan bertanggung jawab, seperti waras dan cukup umur. Sementara dalam hukum Islam, pertanggungjawaban didasarkan pada syarat taklif, yaitu pelaku harus berakal, baligh, dan mengetahui hukum. Kedua sistem hukum juga mengenal alasan penghapus pidana, seperti paksaan, gangguan jiwa, dan keadaan darurat. Namun, hukum Islam memiliki konsep khusus seperti syubhat, yaitu keraguan dalam bukti yang dapat menggugurkan hukuman, serta diyat, yaitu denda sebagai pengganti hukuman qisas dalam kasus pembunuhan atau penganiayaan.

    BalasHapus
  27. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  28. Nama : Surfiani Mansyur
    NIM : 10400124151
    IH D

    Menurut saya Hukum Positif (Indonesia)
    Pertanggungjawaban Pidana yaitu Seseorang dapat dipidana jika memenuhi unsur kesalahan (dolus atau culpa), mampu bertanggung jawab, dan perbuatannya diatur dalam undang-undang sebagai tindak pidana.
    Alasan Penghapus Pidana: Terdiri dari dua macam:
    a. Alasan Pembenar: Membuat perbuatan yang melanggar hukum menjadi dibenarkan, misalnya pembelaan terpaksa (noodweer).
    b. Alasan Pemaaf: Pelaku tetap bersalah, tapi tidak dipidana karena kondisi tertentu, misalnya tidak mampu bertanggung jawab karena gangguan jiwa atau perintah jabatan yang sah.

    Hukum Islam
    Pertanggungjawaban pidana yg di dasari pada prinsip aqil (berakal), baligh (dewasa), dan adanya niat (qasd). Pelaku dianggap bertanggung jawab jika memenuhi ketiganya.
    - Alasan Penghapus Pidana: Disebut sebagai uzur syar’i, misalnya:
    Ikrah (paksaan)
    Jahl (ketidaktahuan) dalam batas tertentu
    Gila atau tidak sadar
    Pembelaan diri (daf’ as-sa’il)

    BalasHapus
  29. Nama: Wiwik Sri Aspita
    Nim: 10400124135
    Kelas: Ilmu Hukum D

    Materi ini membahas dua aspek penting dalam hukum pidana: pertanggungjawaban pidana dan alasan penghapus pidana, baik dalam perspektif hukum positif Indonesia maupun hukum pidana Islam.

    ->Pertanggungjawaban Pidana

    •Dalam Hukum Positif Indonesia, seseorang dapat dipidana jika:

    1. Melakukan perbuatan pidana;
    2. Mampu bertanggung jawab (berakal sehat dan sadar hukum);
    3. Melakukan kesalahan (sengaja atau lalai);
    4. Tidak memiliki alasan pembenar atau pemaaf.

    •Dalam Hukum Islam, pertanggungjawaban hanya berlaku untuk:

    1. Mukallaf (baligh dan berakal);
    2. Pelaku yang bertindak dengan kesengajaan atau kelalaian;
    3. Tidak memiliki udzur syar’i (alasan pembebasan yang sah).

    ->Alasan Penghapus Pidana

    Alasan penghapus pidana terbagi menjadi dua: alasan pembenar (perbuatan jadi sah) dan alasan pemaaf (pelaku tak bisa dihukum).

    1. Dalam Hukum Positif Indonesia:
    ••Alasan pembenar: Noodweer (pembelaan terpaksa), perintah jabatan.
    ••Alasan pemaaf: gangguan jiwa, paksaan (dwang), dan ketidaksadaran.

    2. Dalam Hukum Islam:
    •Paksaan (ikrah),
    •Kesalahan tidak disengaja (khatha'),
    •Tidak berakal atau belum baligh (sibyan & majnun),
    •Keadaan darurat (dharurah),
    •Syubhat (keraguan dalam pembuktian).


    Kesimpulan:
    Kedua sistem hukum mengakui pentingnya unsur kesalahan dan pengecualian tertentu yang membebaskan seseorang dari hukuman. Hukum Islam menekankan aspek moral dan keadilan dengan adanya prinsip syubhat dan diyat, sementara hukum positif lebih menekankan aspek legal-formal dan pembuktian di pengadilan.

    BalasHapus
  30. Nama: Dinda Nur Islami P.W
    Nim: 10400124143
    Kelas: Ilmu Hukum D

    Pertanggungjawaban pidana berarti seseorang baru bisa dihukum kalau dia benar-benar melakukan perbuatan yang dilarang dan dia sadar akan perbuatannya. Dalam hukum positif (Indonesia), orang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana kalau dia cukup umur, sehat jiwa, dan melakukan tindak pidana dengan kesengajaan atau karena kelalaiannya.

    Sementara dalam hukum Islam, prinsipnya mirip. Seseorang hanya bisa dihukum kalau dia punya niat (sengaja), akalnya sehat, dan tidak dalam keadaan terpaksa. Hukum Islam menekankan pentingnya niat dan kesadaran dalam menentukan apakah seseorang pantas dihukum atau tidak.

    Lalu, baik dalam hukum positif maupun hukum Islam, ada alasan yang bisa membebaskan seseorang dari hukuman. Ini disebut alasan penghapus pidana. Misalnya, kalau seseorang membela diri, dipaksa, tidak sengaja, atau bahkan dalam keadaan gila, maka dia bisa dibebaskan dari hukuman. Dalam Islam, ini disebut sebagai rukhsah (keringanan), yang menandakan bahwa hukum Islam juga memperhatikan kondisi manusia secara adil.

    BalasHapus
  31. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  32. nama : nesya ludmillah
    nim : 10400124118
    kls : IH-D

    Pertanggungjawaban pidana dalam hukum positif mengacu pada tanggung jawab seseorang yang telah melakukan tindak pidana sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut.

    Pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam didasarkan pada prinsip bahwa setiap individu harus bertanggung jawab atas perbuatannya sesuai dengan syariat Islam. Tanggung jawab pidana dapat dijatuhkan jika seseorang terbukti melakukan dosa atau pelanggaran yang telah diatur dalam Al-Qur'an, Hadis, dan ijma' ulama.

    perbedaan keduanya :

    a. Dalam hukum positif, fokusnya lebih kepada unsur hukum yang berlaku di negara dan bagaimana hukum negara tersebut mengatur pertanggungjawaban pidana, serta adanya alasan pembenar atau penghapus pidana berdasarkan ketentuan formal.
    b. Dalam hukum Islam, pertanggungjawaban pidana lebih mengacu pada prinsip moral dan agama, dengan penekanan pada niat dan kesadaran pelaku, serta penerapan hukuman berdasarkan syariat Islam.

    jadi Kedua sistem hukum ini memiliki mekanisme pertanggungjawaban pidana yang berbeda, namun keduanya menekankan pentingnya kesalahan dan niat dalam menentukan apakah seseorang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atau tidak. Alasan penghapusan pidana dalam keduanya juga berkaitan dengan faktor-faktor seperti keadaan terpaksa atau ketidakmampuan pelaku untuk bertanggung jawab.

    BalasHapus
  33. Andi Dirga Fauzan M.
    10400124144
    IH - D



    Resume Singkat: Pertanggungjawaban Pidana dan Alasan Penghapus Pidana dalam Hukum Positif dan Hukum Islam

    1. Pertanggungjawaban Pidana
    Adalah prinsip hukum yang menentukan apakah seseorang dapat dikenakan sanksi pidana atas perbuatannya.

    a. Dalam Hukum Positif Indonesia:
    Seseorang dapat dipidana jika:
    • Melakukan perbuatan pidana.
    • Mampu bertanggung jawab (tidak gila atau terganggu jiwanya, sesuai Pasal 44 KUHP).
    • Ada unsur kesalahan (sengaja atau lalai).
    • Tidak ada alasan pembenar/pemaaf.

    b. Dalam Hukum Islam:
    Seseorang dapat dipidana jika:
    • Mukallaf (berakal sehat dan baligh).
    • Ada unsur kesengajaan (qashd) atau kelalaian (khatha’).
    • Tidak ada uzur syar’i (alasan sah secara syariat).

    2. Alasan Penghapus Pidana
    Merupakan kondisi yang membebaskan pelaku dari hukuman meskipun melakukan tindak pidana.

    a. Dalam Hukum Positif Indonesia:
    • Alasan Pembenar: Perbuatan sah secara hukum (misalnya pembelaan terpaksa, Pasal 49 KUHP; perintah jabatan, Pasal 51 KUHP).
    • Alasan Pemaaf: Pelaku tidak dapat dipidana karena kondisi pribadi (misalnya gangguan jiwa, Pasal 44 KUHP; paksaan, Pasal 48 KUHP).

    b. Dalam Hukum Islam:
    Alasan penghapus pidana dikenal sebagai uzur syar’i seperti gila, terpaksa, atau belum baligh, yang membebaskan pelaku dari hukuman.

    Kesimpulan:
    Baik hukum positif Indonesia maupun hukum Islam mensyaratkan pertanggungjawaban pidana berdasarkan kemampuan mental, kesengajaan, dan tidak adanya alasan pembenar/pemaaf. Keduanya juga mengakui kondisi tertentu yang membebaskan pelaku dari hukuman.

    BalasHapus
  34. Mursyidah Nayla Amaliyah (10400124119)
    IH-D 2024

    - Pertanggungjawaban pidana adalah syarat agar seseorang dapat dikenai sanksi pidana atas perbuatannya.

    a. Dalam Hukum Positif Indonesia:
    • Harus ada tindak pidana yang dilakukan.
    • Pelaku harus mampu bertanggung jawab (berakal sehat).
    • Harus ada kesalahan (sengaja atau lalai).
    • Tidak terdapat alasan pembenar atau pemaaf.

    b. Dalam Hukum Islam:
    • Pelaku harus mukallaf (baligh dan berakal).
    • Terdapat unsur kesengajaan atau kelalaian.
    • Tidak ada udzur syar’i (alasan pembebasan).

    - Alasan penghapus pidana membebaskan pelaku dari hukuman meski secara formal melakukan tindak pidana.

    a. Dalam Hukum Positif Indonesia:
    • Alasan Pembenar:
    • Pembelaan terpaksa (Noodweer)
    • Perintah jabatan sah
    • Alasan Pemaaf:
    • Gangguan jiwa
    • Paksaan

    b. Dalam Hukum Islam:
    • Ikrah (paksaan)
    • Al-Khata’ (kesalahan tak sengaja)
    • Sibyan dan Majnun (anak-anak dan orang gila)
    • Dharurah (keadaan darurat)
    • Syubhat (keraguan dalam bukti)

    Kesimpulan:
    Kedua sistem hukum mengakui pentingnya unsur kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab. Alasan penghapus pidana memiliki kemiripan, namun hukum Islam memberikan penekanan pada aspek moral dan religius, serta mengenal diyat dan syubhat sebagai ciri khasnya.

    BalasHapus
  35. RESUME: Pertanggungjawaban Pidana dan Alasan Penghapus Pidana dalam Hukum Positif dan Hukum Islam
    1. Pertanggungjawaban Pidana
    A. Hukum Positif Indonesia
    Definisi: Seseorang hanya dapat dipidana jika memenuhi syarat-syarat hukum.

    Syarat Pertanggungjawaban:

    1. Ada Perbuatan Pidana: Tindakan melanggar hukum pidana.

    2. Mampu Bertanggung Jawab: Berakal sehat & sadar hukum (Pasal 44 KUHP).


    3. Ada Unsur Kesalahan (Mens Rea): Sengaja (dolus) atau lalai (culpa).


    4. Tidak Ada Alasan Pemaaf atau Pembenar: Misalnya gangguan jiwa, paksaan, pembelaan terpaksa.


    B. Hukum Islam

    Definisi: Pertanggungjawaban diberikan pada orang yang memenuhi syarat sebagai mukallaf.

    Syarat Pertanggungjawaban:

    1. Mukallaf: Baligh dan berakal.

    2. Ada Niat atau Kesengajaan (Qashd) / Kelalaian (Khatha').


    3. Tidak Ada Udzur Syar’i: Alasan sah menurut syariat, seperti gila atau paksaan.






    2. Alasan Penghapus Pidana

    A. Hukum Positif Indonesia

    1. Alasan Pembenar (Perbuatan dibenarkan oleh hukum):

    Pembelaan Terpaksa (Noodweer) – Pasal 49 KUHP.

    Perintah Jabatan yang Sah – Pasal 51 KUHP.


    2. Alasan Pemaaf (Pelaku tidak dihukum karena kondisi):

    Gangguan Jiwa – Pasal 44 KUHP.

    Paksaan (Dwang) – Pasal 48 KUHP.



    B. Hukum Islam

    Alasan Penghapus Pidana:

    1. Ikrah (Paksaan) – Tidak dihukum jika dipaksa dalam ancaman.


    2. Khatha’ (Kesalahan Tak Sengaja) – Tidak dikenai hudud, tapi diyat.


    3. Sibyan dan Majnun – Anak-anak & orang gila tidak dipidana.


    4. Darurat (Dharurah) – Pelanggaran dalam keadaan darurat tidak dihukum.


    5. Syubhat (Keraguan dalam Bukti) – Hukuman hudud dibatalkan jika bukti tidak pasti.





    ---

    3. Kesimpulan

    Hukum Positif dan Hukum Islam sama-sama mensyaratkan:

    Adanya perbuatan pidana,

    Kemampuan bertanggung jawab,

    Tidak adanya alasan pembenar/pemaaf.


    Perbedaannya:

    Hukum Islam lebih menekankan pada niat dan status mukallaf.

    Hukum Islam mengenal konsep syubhat (keraguan) dan diyat (denda pengganti hukuman berat).

    BalasHapus
  36. Ghaitsa Zahira Shofa ( 10400124086 )
    IH - C

    Artikel ini membahas mengenai konsep pertanggungjawaban pidana dan alasan penghapusan pidana dalam dua perspektif hukum, yaitu hukum positif indonesia dan hukum islam.

    Dalam hukum positif Indonesia, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dibebankan kepada seseorang apabila perbuatannya memenuhi unsur tindak pidana, dilakukan dalam keadaan sadar,dan tidak ada alasan yang membebaskannya. Syaratnya meliputi adanya perbuatan pidana, kemampuan bertanggung jawab (tidak gila atau terganggu jiwanya), serta adanya kesalahan (baik karena kesengajaan atau kelalaian). Selain itu, orang tersebut tidak sedang berada dalam kondisi
    yang membenarkan atau memaafkan tindakannya.

    Alasan penghapus pidana dalam hukum positif dibedakan menjadi dua, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf. Alasan pembenar (seperti pembelaan terpaksa atau perintah jabatan) membuat perbuatan menjadi sah menurut hukum. Sementara itu, alasan pemaaf (seperti gangguan jiwa atau paksaan) tidak membenarkan perbuatan, tetapi membebaskan pelakunya dari hukuman karena kondisi pribadi yang melemahkan tanggung jawabnya.

    Sementara itu, dalam hukum Islam, pertanggungjawaban pidana hanya diberikan kepada seseorang yang telah memenuhi syarat mukallaf, yaitu orang yang berakal sehat dan telah mencapai usia baligh. Anak-anak dan orang dengan gangguan jiwa tidak termasuk di dalamnya.Selain itu, dalam Islam, penting untuk membedakan apakah perbuatan dilakukan dengan sengaja (qashd) atau tidak sengaja (khatha), karena konsekuensi hukumnya berbeda.

    Alasan penghapus pidana dalam Islam mencakup beberapa hal, antara lain:
    - Ikrah (paksaan): perbuatan dilakukan di bawah tekanan atau ancaman serius,
    - Khatha (tidak sengaja): perbuatan yang terjadi karena kelalaian tanpa niat jahat,
    - Sibyan dan Majnun: anak-anak dan orang dengan gangguan jiwa,
    - Dharurat (keadaan terpaksa): perbuatan dilakukan untuk mempertahankan hidup atau menghindari bahaya besar.

    Secara keseluruhan, artikel ini menunjukkan bahwa kedua sistem hukumbaik positif maupun Islam sama-sama memperhatikan unsur kesadaran, niat, dan kondisi pelaku dalam menetapkan pertanggungjawaban pidana. Tujuannya agar hukum tidak menghukum orang yang sebenarnya tidak layak untuk dihukum, sekaligus menjunjung keadilan yang bersifat manusiawi.

    BalasHapus
  37. Nama: Assifah
    Nim: 10400124117
    Kelas: Ilmu Hukum D

    Pertanggungjawaban pidana adalah prinsip yang menentukan apakah seseorang dapat dihukum atas tindakan mereka. Untuk dipidana, harus ada unsur tindak pidana dan kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam hukum positif Indonesia, seseorang dapat dipertanggungjawabkan jika: melakukan perbuatan pidana, mampu bertanggung jawab, melakukan kesalahan (baik kesengajaan atau kelalaian), dan tidak ada alasan pemaaf atau pembenar. Sementara dalam hukum Islam, pertanggungjawaban berlaku bagi individu yang berakal dan baligh, serta telah melakukan kesalahan dengan kesengajaan atau kelalaian, tanpa adanya udzur syar’i.

    Alasan penghapus pidana adalah kondisi yang membuat seseorang tidak dapat dihukum meskipun melakukan tindak pidana. Dalam hukum positif Indonesia, ada alasan pembenar, di mana tindakan dianggap sah karena kondisi tertentu, seperti pembelaan diri atau menjalankan perintah jabatan. Selain itu, ada juga alasan pemaaf, di mana pelaku tidak dapat dipidana karena kondisi tertentu seperti gangguan jiwa atau paksaan.

    Dalam hukum Islam, terdapat beberapa alasan penghapus pidana seperti ikrah (paksaan), al-khata’ (kesalahan tidak sengaja), dan anak-anak atau orang gila yang tidak dapat dipidana karena tidak memenuhi syarat. Dalam keadaan darurat, pelanggaran dapat dihapus, dan konsep syubhat menyatakan keraguan dalam bukti yang dapat membatalkan hukuman hudud.

    Kesimpulannya, dalam hukum positif Indonesia, pertanggungjawaban pidana berlaku bagi mereka yang memenuhi unsur kesalahan tanpa alasan penghapus, sedangkan di hukum Islam berlaku bagi mukallaf yang sadar akan perbuatannya tanpa udzur syar’i. Alasan penghapus pidana pada kedua sistem hukum ini serupa, tetapi hukum Islam memiliki tambahan seperti syubhat dan diyat.

    BalasHapus
  38. Nama : A. Aliyya Nurfadhila Faisal
    NIM : 10400124087
    Kelas : Ilmu Hukum - C
    Pertanggungjawaban Pidana dan Alasan Penghapus Pidana dalam Hukum Positif dan Hukum Islam

    Pendahuluan
    Pertanggungjawaban pidana mencakup prinsip yang menentukan apakah seseorang dapat dihukum atas perbuatannya, dengan adanya unsur tindak pidana dan kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan.

    Poin Kunci

    1. Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Positif Indonesia
    • Harus ada perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana.
    • Seseorang harus mampu bertanggung jawab, memiliki kesadaran hukum, dan mampu membedakan baik dan buruk.
    • Kesalahan bisa berupa kesengajaan atau kelalaian.
    • Tidak ada alasan pemaaf yang berlaku.

    2. Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Islam
    • Pelaku harus mukallaf, yakni berakal sehat dan sudah baligh.
    • Kesalahan bisa disengaja atau tidak disengaja.
    • Adanya alasan pembebasan hukum yang sah.

    3. Alasan Penghapus Pidana
    • Dalam hukum positif, alasan penghapus pidana dibagi menjadi:
    • Alasan Pembenar: Perbuatan yang dianggap sah karena kondisi tertentu.
    • Alasan Pemaaf: Pelaku tidak bisa dipidana karena kondisi tertentu.
    • Dalam hukum Islam, terdapat beberapa alasan, termasuk paksaan, kesalahan tidak sengaja, anak-anak dan orang gila, keadaan darurat, dan keraguan dalam bukti.

    Kesimpulan
    Di Indonesia, pertanggungjawaban pidana bergantung pada unsur kesalahan tanpa alasan pembenar atau pemaaf, sementara dalam hukum Islam, berlaku untuk mukallaf yang tidak memiliki udzur syar’i. Terdapat kesamaan dalam alasan penghapus pidana, tetapi hukum Islam menambahkan konsep keraguan dalam bukti serta denda untuk tindak pidana tertentu.

    BalasHapus
  39. Nama: Nadilah yuhsin
    Nim: 10400124111
    kelas: IH C

    Pertanggungjawaban pidana adalah aturan yang menentukan apakah seseorang bisa dihukum atas perbuatannya. Dalam hukum Indonesia, seseorang bisa dihukum kalau dia melakukan kejahatan, sadar dan bisa bertanggung jawab, serta tidak punya alasan yang membebaskannya. Dalam hukum Islam, orang bisa dihukum kalau sudah baligh, berakal, dan tahu apa yang dia lakukan, serta tidak ada alasan syar’i yang membebaskan.

    Alasan penghapus pidana adalah hal-hal yang membuat pelaku tidak dihukum, walaupun dia sudah melakukan perbuatan pidana. Dalam hukum Indonesia, contohnya adalah membela diri, gangguan jiwa, atau dipaksa. Dalam hukum Islam, alasannya bisa karena dipaksa, tidak sengaja, masih anak-anak, gila, dalam keadaan darurat, atau ada keraguan dalam bukti. Kedua hukum ini sama-sama tidak menghukum orang yang tidak sepenuhnya bertanggung jawab atas perbuatannya.

    BalasHapus